
Mikalaglobalmedika, Jakarta – Kasus HIV/AIDS di Indonesia masih menunjukkan peningkatan di sejumlah wilayah, meski berbagai kemajuan telah dicapai dalam layanan pengobatan dan pencegahan. Hal ini disampaikan oleh Diki Budiman, pakar kesehatan global dari Universitas YARSI dan Griffith University, dalam wawancaranya di program Halo Indonesia.
Menurut Diki, ada kabar baik dari sisi layanan kesehatan. Kini semakin banyak pasien HIV yang mendapatkan terapi antiretroviral (ART) atau Anti-Retroviral Treatment.
“Layanannya sudah menguat, dan akses terhadap obat ini meningkat. Bahkan sekarang sudah terintegrasi di puskesmas dan komunitas,” ujar Diki.
Peningkatan akses ini, kata dia, membantu pasien untuk bertahan dalam perawatan jangka panjang. Bukti ilmiah juga menunjukkan bahwa semakin banyak pasien HIV yang berhasil mencapai sustained viral suppression, yaitu kondisi di mana virus tidak lagi terdeteksi dalam tubuh mereka.
Diki menjelaskan bahwa sekitar 76 persen kasus HIV di Indonesia terkonsentrasi di sebelas provinsi prioritas. Namun ia menegaskan, bukan berarti daerah lain bebas dari kasus HIV.
“Sebelas provinsi ini diprioritaskan karena angka kasusnya tinggi, tapi wilayah lain tetap harus waspada,” katanya.
Pemerintah Indonesia menargetkan eliminasi HIV/AIDS pada tahun 2030. Menurut Diki, target ini menantang, namun bukan hal yang mustahil.
“Pemerintah sudah berupaya sejak dua dekade terakhir, dibantu lembaga internasional seperti Global Fund, Clinton Foundation, WHO, dan Bank Dunia,” jelasnya.
Ia menekankan pentingnya mempercepat testing dan awareness status HIV. “Kalau seseorang tahu statusnya, maka akses pengobatan akan lebih cepat, dan potensi penularan bisa ditekan,” tambahnya.
Dalam kesempatan yang sama, Diki juga mengingatkan masyarakat untuk tidak meremehkan gejala kesehatan seperti batuk dan pilek.
“Istilah ‘batuk biasa’ atau ‘pilek biasa’ sebaiknya ditinggalkan. Karena tubuh yang sehat tidak batuk, tidak pilek,” tegasnya.
Menurutnya, batuk dan pilek adalah bentuk reaksi tubuh terhadap sesuatu yang mengganggu sistem pernapasan. Jika berlangsung lebih dari dua minggu, masyarakat disarankan segera memeriksakan diri karena bisa mengarah ke tuberkulosis (TBC) atau penyakit infeksi lainnya.
Diki juga mengingatkan bahwa saat ini dunia menghadapi apa yang ia sebut sebagai “badai tiga serangkai” (triple storm) virus.
“Sekarang kita menghadapi influenza musiman yang masih dominan, ditambah Covid-19 yang sudah menjadi endemik, serta virus-virus lain seperti norovirus dan RSV (respiratory syncytial virus),” jelasnya.
Kondisi ini diperburuk oleh faktor musim hujan yang membuat virus mudah berkembang dan menular.
“Musim hujan seperti sekarang membuat virus lebih mudah menyebar. Jadi masyarakat perlu menjaga imunitas dan menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat,” pungkas Diki.

Mikalaglobalmedika, Jakarta – Kasus HIV/AIDS di Indonesia masih menunjukkan peningkatan di sejumlah wilayah, meski berbagai kemajuan telah dicapai dalam layanan pengobatan dan pencegahan. Hal ini disampaikan oleh Diki Budiman, pakar kesehatan global dari Universitas YARSI dan Griffith University, dalam wawancaranya di program Halo Indonesia.
Menurut Diki, ada kabar baik dari sisi layanan kesehatan. Kini semakin banyak pasien HIV yang mendapatkan terapi antiretroviral (ART) atau Anti-Retroviral Treatment.
“Layanannya sudah menguat, dan akses terhadap obat ini meningkat. Bahkan sekarang sudah terintegrasi di puskesmas dan komunitas,” ujar Diki.
Peningkatan akses ini, kata dia, membantu pasien untuk bertahan dalam perawatan jangka panjang. Bukti ilmiah juga menunjukkan bahwa semakin banyak pasien HIV yang berhasil mencapai sustained viral suppression, yaitu kondisi di mana virus tidak lagi terdeteksi dalam tubuh mereka.
Diki menjelaskan bahwa sekitar 76 persen kasus HIV di Indonesia terkonsentrasi di sebelas provinsi prioritas. Namun ia menegaskan, bukan berarti daerah lain bebas dari kasus HIV.
“Sebelas provinsi ini diprioritaskan karena angka kasusnya tinggi, tapi wilayah lain tetap harus waspada,” katanya.
Pemerintah Indonesia menargetkan eliminasi HIV/AIDS pada tahun 2030. Menurut Diki, target ini menantang, namun bukan hal yang mustahil.
“Pemerintah sudah berupaya sejak dua dekade terakhir, dibantu lembaga internasional seperti Global Fund, Clinton Foundation, WHO, dan Bank Dunia,” jelasnya.
Ia menekankan pentingnya mempercepat testing dan awareness status HIV. “Kalau seseorang tahu statusnya, maka akses pengobatan akan lebih cepat, dan potensi penularan bisa ditekan,” tambahnya.
Dalam kesempatan yang sama, Diki juga mengingatkan masyarakat untuk tidak meremehkan gejala kesehatan seperti batuk dan pilek.
“Istilah ‘batuk biasa’ atau ‘pilek biasa’ sebaiknya ditinggalkan. Karena tubuh yang sehat tidak batuk, tidak pilek,” tegasnya.
Menurutnya, batuk dan pilek adalah bentuk reaksi tubuh terhadap sesuatu yang mengganggu sistem pernapasan. Jika berlangsung lebih dari dua minggu, masyarakat disarankan segera memeriksakan diri karena bisa mengarah ke tuberkulosis (TBC) atau penyakit infeksi lainnya.
Diki juga mengingatkan bahwa saat ini dunia menghadapi apa yang ia sebut sebagai “badai tiga serangkai” (triple storm) virus.
“Sekarang kita menghadapi influenza musiman yang masih dominan, ditambah Covid-19 yang sudah menjadi endemik, serta virus-virus lain seperti norovirus dan RSV (respiratory syncytial virus),” jelasnya.
Kondisi ini diperburuk oleh faktor musim hujan yang membuat virus mudah berkembang dan menular.
“Musim hujan seperti sekarang membuat virus lebih mudah menyebar. Jadi masyarakat perlu menjaga imunitas dan menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat,” pungkas Diki.
Kami penyedia layanan medis terpercaya yang mendedikasikan diri untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.
Copyright © 2024 mikalaglobalmedika.com. All Rights Reserved